Kamis, 19 Januari 2012

CERPEN AMATIR

Pejuang Penggemar Opera
’’Kalau aku jadi mereka, aku akan naik helikopter saja, jadi kan tidak mengganggu penikmat jalan yang lain!” kata Arev.
’’Iya iya Rev, kamu betul, seandainya di negeri ini, status sosial tidak terlalu dispesialkan, pasti tidak akan seperti ini kan!” kata Adnan. 
’’Ya sudahlah, toh ini kan sudah menjadi takdir kita, nasib yang seperti ini lebih baik dari pada mereka yang tidak bisa menikmati fasilitas ini,” sahut Arev.
’’Ngomong-ngomong, hp-ku dimana ya?’’
’’Entah, aku tak tahu, memangya kamu taruh mana?’’
’’Kalau aku tahu, aku tidak tanya sama kamu Rev!’’
’’He he he... coba ingat-ingat lagi, kamu taruh mana?’’
Adnan mencoba mengingat-ingat lagi dimana ia menaruh hpnya.
’’Tadi, waktu di rumahmu, aku mengeluarkan hp di kamarmu buat sms Harjo, terus, aku masukan ke tas hitam yang kau bawa. Terus kita pergi ke Amplas. Di Amplas aku hanya sms-an. Lalu hp-nya aku pegang terus. Kemudian kita menuju ke Jogcik bersama Harjo dan Bethy.’’
’’Tunggu dulu, kitakan tadi sholat magrib di Mushola parkiran Amplas! Disitu kamu mengeluarkan hp tidak?’’
’’O iya... aku mengeluarkan hp sih, tapi seingatku, sudah aku masukan kantong.’’
’’Terus di perjalanan kamu mengeluarkan hp tidak?’’
’’Kayaknya tidak...! coba kamu miss call.’’
’’Oke, tunggu ya...’’
Arev mencoba menelfon hp milik Adnan.
’’Tuuut... tuuut... tuuut... nomor yang anda tuju tidak menjawab, cobalah beberapa saat lagi.’’  jawab operator.
Arev menunjukan muka sedih sambil berkata,
’’Maaf Nan, hp kamu tidak ada yang menjawab. Hanya operator kurang kerjaan yang menjawab.’’
’’Terus bagaimana?’’ tanya Adnan
’’Coba kamu ingat-ingat lagi!’’
’’Tadi kita ke Jogcik kan?’’
’’O Iya, kamu kan tadi makan sambil mainan hp...’’
’’O iya juga ya, habis itu, aku masukan ke kantong lagi. kemudian kita kan mampir ke SPBU... Oh sekarang aku ingat. Aku tadi taruh aku ke jog motor kamu Rev...’’
’’Auk aku tidak tahu... coba kamu buka jognya...’’
’’Wah ha ha ha... ternyata selama ini aku cari-cari ternyata dibalik bokong kita, tepatnya dibawah jog yang kita duduki.’’
Seketika suasana hening bercampur kebisingan kendaraan yang disebabkan oleh kemacetan. Dan kemacetan yang disebabkan oleh preman berseragam yang katanya pengayom masyarakat.
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan amat sangat pelan, dengan kadang-kadang hati menggerutu tak karuan, teringat di benak mereka saat saat kebersamaan bersama sahabat baiknya, Harjo dan Bethy tadi siang, berangkat bersama, makan bersama, pokoknya kompak.
Di tempat lain di jalan yang sama, di kilometer yang berbeda Harjo dan Bethy juga merasakan hal yang sama, kemacetan, kebisingan kendaraan, dan kekesalan melanda.
’’Wah, gila, ini jalan umum atau jalan pribadi sih?” Harjo berbicara sendiri.
’’Sudahlah Jo, jangan menggerutu terus, kamu itu hanya buang-buang tenaga saja,” sahut Bethy dengan yakin.
’’Tapi tidak bisa begitu dong, ini namanya melihat praktek aroganisme, bukan melihat opera yang akan kita tonton.’’
’’Yang sabar saja Jo,” kata Bethy dengan nada pasrah.
“Arev sama Adnan sudah sampai mana ya?”
’’Auk ah, gelap! Kamu sih, berangkat dari rumah tidak melihat tangki bensin motor mu dulu.”
’’Ya maaf Bethy, aku kan tadi tergesa-gesa, ini semua juga bukan sepenuhnya salah ku, itu tuh para preman berseragam yang membuat kita seperti ini, terpisah dengan Arev sama Adnan.’’
Dan mereka saling menyalahkan.
Di tempat lain Arev dan Adnan malah mampir ke sebuah warung makan pinggir jalan, mereka memesan dua nasi uduk berlauk ikan tongkol dan dua gelas es teh manis, sedangkan aparat penguasa jalan raya sudah lewat beberapa saat yang lalu, masih dengan tidak pedulinya mereka melintas, dan hanya menyisakan kemacetan parah di sepanjang jalan Jogja-Solo.
Putaran demi putaran, roda mereka yang berputar perlahan, meter demi meter mereka lewati sambil menenangkan hati, jam demi jam mereka lalui dengan badan yang mulai berasa asam, dan kulit yang berminyak akhirnya Arev dan Adnan sampai di tempat opera di pentaskan, yaitu komplek Candi Prambanan.
Setelah memarkirkan motor berplat AA milik Arev, mereka menuju pelataran tempat di pentaskannya opera terkenal tersebut.
Teringat bahwa Harjo dan Bethy belum sampai, Adnan bertanya
’’Harjo sama Bethy sudah sampai mana ya?”
’’Mungkin mampir ke warung makan dulu,” jawab Arev.
’’Kasihan banget ya? Dari tadi tidak sampai-sampai!”
’’Ish, kamu ini, teman kesusahan malah diledekin!”
’’He he he, ya maaf, habis, mereka, tidak sampai-sampai sih!”
’’Ya sudah, kita nonton duluan aja yuk?”
’’Yuk,”
Sedangkan Harjo dan Bethy sudah kelelahan di jalan. Jalan yang masih macet, membuat mereka hampir berputus asa.
’’Aku lelah Jo!’’ keluh Bethy.
’’Memangnya kamu aja yang lelah?’’ Jawab Harjo.
’’Istirahat dulu yuk?’’
’’Nanti saja, masih jauh tu tempatnya, nanti tidak sampai-sampai.’’
’’Oke deh, tapi nanti mampir warung makan dulu ya?’’
’’Ya...’’ dengan nada pasrah.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di warung makan tepatnya WarTeg lebih jelasnya lagi Warung Tegal. Mereka memesan dua buah gelas es jeruk.  Dan Harjo pun memilih berbagai macam makanan ,antara lain nasi putih, sayur asam, tempe goreng ikan asin, krupuk rambak plus sambel terasi. Sedangakn Bethy memilih nasi putih, sayur kangkung dengan berlauk tahu bacem dan telur asin.
Setelah kenyang mereka pun melanjutkan perjalanan dengan amat sangat pelan dikarenakan lagi arus lalulintas yang masih merayap.
Di tempat lain Arev dan Adnan sedang menikmati pembukaan acara pementasan opera.
’’Parto, lucu ya... he he he,’’ kata Arev.
’’Lucuan Sule kali!’’ sahut Adnan.
’’Lucuan Parto!’’
’’SULE!!!’’
’’Iya deh... ngomong-ngomong si Harjo dan Bethy dimana ya?’’
’’Iya dari tadi mengapa mereka tidak terlihat batang hidungnya ya?’’
’’Aku tidak tahu.’’
Sedangkan dilain tempat Harjo dan Bethy merasakan suatu rasa yaitu galau yang amat sangat berat, kemacetan yang sangat parah dan rasa lelah yang menjamuri jiwa dan raga mereka. Begitu juga hati mereka yang dilanda konflik batin memilih, antara meneruskan perjalanan dengan kemacetan yang semakin parah yang belum pasti sampainya atau memilih jalan pulang yang bebas hambatan tetapi dengan tangan kosong,mata kosong, hari kosong dan ongkos perjalanan melayang dengan sia-sia.
Dan konflik internal itu dimenangkan oleh jalan pulang. Kemudian dengan amat sangat berat Bethy mengirim sms untuk Arev. Dengan  mengabari Arev dan Adnan mereka memilih perjalanan pulang dan tidak jadi menonton pementasan opera.
Di komplek candi, Arev dan Adnan kaget, karena teman mereka, memilih pulang dan tidak jadi nonton opera, terpaksa hanya Arev dan Adnan saja yang menonton opera hingga selesai, selesai sampai larut malam.

MUHAMMAD ARIF WIBOWO
X-1/016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar